Minggu, 07 Juni 2009

Isi email prita mulyasari

Berita terbaru seputar kasus Prita Mulsari masih hangat dan terus diperbincankan. Berikut artikel yang saya dapat dari rekan blogger lain:

Pada mulanya berita tentang ibu Prita tidak terlalu kutahu, bahkan cenderung terabaikan. Maklum, aku mula-mula menganggapnya seperti berita tentang ‘facebook haram’. Nggak perlu ditanggapi, itu khan ibarat seperti halnya ‘melarang pisau tajam di rumah, karena bisa melukai bahkan membunuh seorang manusia yang tidak berdosa’. Artinya apa, tergantung dari cara memandangnya. Jika di awal sudah dianggap negatif maka hasilnya ya negatif, tetapi jika dianggap positip maka bisa juga dihasilkan hal yang positip. Teknologi itu netral, tergantung orangnya. Gitu aja koq pusing. :)

Tetapi ternyata kasus ibu Prita memang agak berbeda, ada kesan yang seakan-akan terlalu berkelebihan. Hanya bermula dari tulisan di email ternyata dapat dilanjutkan ke hukuman badan di penjara. Kalau benar, itu luar biasa.

Kalau hanya dipandang dari sudut akademik, maka jelas itu tidak ada penjelasannya. Jika ada perbedaan pendapat, itu biasa saja, beberapa tanggapan tertulis yang negatif diblog ini juga ada, tetapi sebagian besar ketika kita bisa membikin argumentasi dari sudut pandang kita, maka yang semula negatif bisa ketahuan, bahwa yang sebenarnya negatif itu siapa. Jadi mestinya yang benar (menurut kaca mata akademik) maka jika ada pendapat tertulis maka sanggahannya juga tertulis. Masyarakatlah yang akhirnya menilai.

Toh apa sih yang ditakutkan dari sebuah email ?

Nama baik pak !

Ha, ha, nama baik ya. Mungkin benar juga. Saya mencoba mencari tahu tentang hal tersebut, untuk itu aku baca bukunya Robert Greene, tentang “48 Hukum Kekuasaan”, di situ dijelaskan bahwa pada hukum ke-5 menuju kekuasaan bahwa REPUTASI adalah suatu hal penting. Disebutkannya bahwa

BEGITU BANYAK HAL TERGANTUNG DARI REPUTASI – JAGALAH REPUTASI ANDA DENGAN NYAWA ANDA !

Mungkin hal inilah yang mendorong pihak lawan ibu Prita untuk memperkarakannya di pengadilan, yaitu untuk menjaga reputasi institusi.

Apakah untuk menjaga reputasi tersebut harus ke pengadilan. Ini masalahnya, kelihatannya mereka pada tidak tahu bahwa reputasi itu terkumpul tidak hanya dari prestasi pekerjaannya saja tetapi juga dari hal-hal seperti bagaimana mereka menyelesaikan masalah yang timbul. Masalah itu ada-ada saja khan selama ada kehidupan ini.

Kasus email bu Prita itu khan sebenarnya dapat juga dianggap sebagai salah satu masalah saja. Mungkin yang ditakutkan bahwa informasi tentang masalah tersebut sudah tersebar luas. Tetapi saya kira itu tidak perlu ditakuti, bahkan jika tepat maka ketenaran dari meluasnya berita tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik. Coba bikin solusi yang saling memuaskan kedua belah pihak, jika itu dapat terjadi maka pada akhirnya informasi kepuasan itu juga akan tersebar luas. Reputasi akan menjadi baik.

Bahkan yang kudengar bahwa pihak yang menjadi lawan adalah institusi pemberi jasa, yaitu rumah sakit.

Wah ini lebih gawat lagi, reputasi bagi lembaga atau institusi pemberi jasa adalah sesuatu hal yang penting, bahkan penting sekali. Rumah sakit, seperti halnya institusi pendidikan atau sekolah, keberlanjutannya tergantung dari reputasi yang diperolehnya. Bayangkan saja, mungkin ada saja sekolah yang gedung hebat, tetapi ternyata didalamnya terkenal bahwa murid-muridnya bereputasi buruk, “banyak yang ngobat lho”, lalu kalau lulus banyak yang nganggur. Jika demikian mana ada orang tua murid yang peduli yang mau menyekolahkan anak-anaknya disana. Demikian juga rumah sakit, jika tersebar disana bahwa pasien yang dirawat disana, bukannya cepat sembuh, tetapi bahkan ketularan penyakit lain. Pasti calon pasien lain jadi mikir seribu kali untuk kesana, kecuali memang tidak ada alternatif lain, misalnya bahwa di situ ada alat kedokteran yang canggih yang ditempat lainnya tidak ada dan gratis misalnya.

Jadi sebenarnya aku heran juga, mengapa sih institusi yang besar seperti pihak lawan bu Prita itu mau-maunya menanggapi tulisan sebuah email untuk jadi diperkarakan ke pengadilan. Ibu Prita itu siapa sih ? Jadi jika institusi tadi menang, ya wajar saja. Tapi jika sampai akhirnya kalah. Apa itu tidak berisiko tinggi untuk hancur reputasinya. Padahal untuk bermasalah di pengadilan itu kalau aku dengar diperlukan juga uang.

Ingat petuah Robert Green:

. . . jangan pernah melakukan serangan dengan keterlaluan, karena tindakan itu hanya akan menarik lebih banyak perhatian kepada niat dendam anda ketimbang kepada orang yang anda serang. . . . pergunakanlah taktik-taktik yang lebih halus. seperti sindiran dan olok-olok, untuk memperlemah lawan anda selagi anda memberi kesan bahwa diri anda adalah sipenjahat yang mempesona. Si singa yang kuat mempermainkan tikus yang lewat di depannya – reaksi lain pasti merusak reputasinya yang menakutkan.

Jadi bisa saja dalam hal ini bu Prita kalah , lalu mendapatkan hukuman, pihak penggugat menang, maka tersebarlah berita bahwa reputasinya memang hebat yaitu “dapat memukul hancur wong cilik”.

Apa untungnya itu, padahal duit sudah keluar berjuta-juta.

Lalu bagaimana pak ?

Ya, sebenarnya kata kuncinya adalah pemberi nasehat pihak penggugat bu Prita tersebut. Mestinya penasehatnya orang yang berkepala dingin. Jika mendapat email seperti itu, maka tentunya perlu dipikir lebih mendalam dan ditanggapi dengan tidak penuh emosi, tetapi agar bisa seperti ini maka diperlukan persyaratan khusus.

Apa itu pak persyaratannya, apa harus terakreditasi international ?

Ah nggak dik, kata kuncinya bukan masalah internasional atau tidak, tetapi yang penting harus bersandarkan kepada kejujuran, dengan berpegang kepada kebenaran, kemudian juga menyadari bahwa diri kita ini juga lemah, bisa saja berbuat kesalahan dan juga taqwa ke yang di ATAS. Artinya apa, bahwa apa yang diperjuangkan itu adalah benar adanya dan berani dipertanggung-jawabkan ke atas, setelah kematiannya.

Wah filosofi betul pak ?

Bukan filosofi itu dik, tapi hakekat hidup. Dengan latar belakang tersebut maka dibedahlah email bu prita tersebut.Ada apa ini ?

Jadi jangan seperti buruk rupa cermin dibelah. Itu lho pepatah lama. Isi email itu khan berfungsi sebagai cermin tentang isi pelayanan institusi tersebut kepada pelanggannya.

Jadi yang perlu dipermasalahkan adalah apa benar isi email tersebut. Jadi disini pihak yang menerima email perlu jujur, dan perlu menelaah tiap rincian materi yang diungkapkan, perlu cross chek.

Wah kalau benar, salah ! Bagaimana pak ?

Kalau benar itu khan seperti halnya hasil ujian pembelajaran khan, jika rapotnya merah ya berarti perlu belajar lagi. Jadi jika benar ada kesalahan, ya akui saja dan berani bertanggung jawab serta minta maaf, bahkan beri kompensasi. Kemudian nyatakan bahwa itu menjadi pembelajaran bagi manajemen untuk tidak terulang lagi. Jadi mereka harus menganggap bu prita sebagai konsumen, dan konsumen adalah raja. Saya yakin kalaupun ada kompensasi yang diberikan nggak sebesar biaya yang diperlukan untuk proses pengadilan yang sekarang ini sedang terjadi. Tetapi yang jelas dengan adanya proses pengadilan yang berlarut-larut ini maka saya yang sebelumnya tidak mengenal insitusi tersebut sekarang jadi tahu. O begitu to reputasinya.

Tetapi kalau tidak benar pak ?

Wah ini lebih gampang, setiap ada keluhan harus ditanggapi atau tepatnya diluruskan jadi jangan ada kesalahpahaman.

Kalau ngotot pak ?

Ya tentang itu khan ada kebenaran sepihak maupun ada kebenaran umum. Jadi yang perlu diperjuangkan adalah buktikan bahwa itu kebenaran umumnya sudah tepat. Toh akhirnya masyarakat yang menilai.

Intinya kalau benar, nggak usah takutlah !

Kategori: opini
24 tanggapan so far ↓

*

antok // 6 Juni 2009 pada 01:38 | Balas

SOLIDARITAS UNTUK PRITA MULYASARI
SOLIDARITAS UNTUK INDONESIA SEHAT
Maka
“BOIKOT RUMAH SAKIT OMNI”

Solodaritas yang dapat kami tawarkan adalah: “mengajak kepada segenap warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang sedang tinggal di Indonesia untuk melakukan tindakan boikot, dengan jalan tidak mempercayakan masalah kesehatan kita kepada Rumah Sakit Omni International, Jakarta. Sampai pada batas waktu selesainya perkara hukum yang dialami Ibu Prita Mulyasari”. Ini baru adil bagi pihak rumah sakit, pihak Ibu Prita Mulayari, dan Pihak Masyarakat penerima layanan kesehatan”.

Kasus yang menimpa Ibu Prita Mulyasari adalah sebuah kasus yang dapat diibaratkan sebagai fenomena gunung es. Yakni sebuah fenomena yang dipermukaan terlihat sedikit secara kuantitas namun pada realitas dimasyarakat adalah jauh lebih besar. Dimana pada dunia industri medis, nyaris menjadi tak terkontrol. Padahal dunia medis adalah sebuah kumpulan profesi yang memiliki ranah bobot kemanusiaan lebih tinggi dibanding dengan kepentingan bisnis, namun di Indonesia sudah menjadi hal yang maklum bahwa bisnis medis adalah sebuah bisnis yang sangat profitable. Bebas krisis ekonomi dan bebas krisis politik. Dalam kondisi apapun bahwa bisnis medis tak bakalan bangkrut, hal inilah yang menjadikan profesi medis menjadi idola di Masyarakat. Bagi penyandang profesinya, tidak memiliki kekhawatiran akan kegagalan profesi bahkan kegagalan bisnis.

Salah satu alasan mengapa orang memilih profesi medis, adalah bahwa dalam keadaan apapun, dan berada pada komunitas apapun, keberadaan pelayan medis akan tetap diperlukan.

Sifat kehawatiran manusia adalah sesuatu yang manusiawi, sehingga manusia akan bersikap prudence (hati-hati) menjalankan berbagai aktifitasnya. Karena aktifitas manusia adalah senantiasa berkorelasi dengan kehidupan dan kepentingan manusia lainnya, baik langsung maupun tidak. Tak aneh bila persoalan Mal-praktek kedokteran menjadi masalah yang siring muncul. Dan jelas siapa yang dirugikan dari sikap kekurang hati-hatian profesi medis.

Uniknya bahwa sampai hari ini tak ada penyandang profesi medis yang mendapat ganjaran hukuman. Hal ini adalah suatu fakta yang amat tidak masuk akal. Ditengah-tengah sikap rendah ketidak hati-hatian (less-prudence) tapi nyaris tak pernah mengalami kesalahan. Ini merupakan kejanggalan alam terbesar di jagad raya ini.

Semakin kurang berhati-hati berlalulintas di jalan raya maka resiko terjadi kecelakaan semakin besar, namun tidak terjadi di dunia medis.Bahkan ketidak hati-hatian dokter pemberi layanan medis berakibat makin buruknya kesehatan pasien, bahkan jika pasien macam-macam segalanya bisa disiasati sampai pada akhirnya pasien korban mal praktek menjadi pelaku criminal.

Tak banyak yang menyadari betapa kuatnya dunia profesi medis. Ibarat kuatnya sebuah rezim yang otoriter dan fasis. Dalam bahasa jawa timuran dikatakan “kalah menang nyirik” (kalah – menang, beruntung-namun beruntungnya dg curang. Nyirik – sulit menemukan terjemahan yang pas). Sudah saatnya “REZIM” Medis perlu mendapatkan control social yang memadai, bahkan sampai pada ranah delik pidana.

Undang-undang kesehatan pun, sebenarnya masih jauh dari unsur memenuhi rasa kadilan masyarakat. Diamana bila terjadi keluhan pada pasien atas dugaan mal praktek hendaknya diselesaikan pada dewan kehormatan profesi. Ini artinya penyelesaian perselisihan anatara dokter pasien hendaknya diselesaikan oleh kalangan pihak medis, apakah ini dapat memenuhi rasa keadilan. Seharusnya hal ini dapat dilakukan dasar pro justisia. Dan penyelesaiannya harus masuk pada ranah hukum. Hal ini dapat menggambarkan bahwa betapa kuatnya Rezim Medis di Indonesia. Belum lagi mahalnya obat-obatan, yang nota bene, obat diproduksi secara masal, keunikan produksi masal adalah nilai jual hasil produksinya dapat ditekan serendah mungkin. Maka logikanya pasien sebagai konsumen produk medis berupa obat-obatan akan menikmati harga rendah. Lagi-lagi hukum logika pasar bebas (supply-demand) nggak mampu menggoyahkan arogansi Rezim Medis.

Sudah mafhum dimasyarakat kita bahwa, terdapat kecemasan apakah biaya medis yang dikeluarkan akan sebanding dengan layanan kesehatan yang diterima. Puas-nggak puas – suka nggak suka, pasien harus menerimanya. Karena tidak memiliki alternative lainnya, kecuali layanan pengobatan alternative. Seolah kita mengalami regresi social jauh mendur kebelakang sampai pada tahun tujuh puluhan. Saya masih ingat bahwa untuk memasyarakatkan layanan medis, di kampong-kampung dahulu, selalu dilakukan penyuluhan penyuluhan di desa-desa agar menjauhi para dukun dan berobat ke puskesmas. Namun apa lacur, fenomena dukun cilik Ponari adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dihindari sebagai sikap protes terhadap rezim medis kita.
Sudah saatnya rezim medis berbenah diri kembali pada profesi kemanusiaan dengan menjunjung tinggi aspek kemanusiaan (sense of humanity) dari pada mendahulukan profitable belaka. Kalau nggak mau berbenah diri ya harus rame-rame kita benahi.

Melalui kasus Ibu Prita ini hendaknya kita bersyukur bahwa kini kita dapat membuka pikiran kita untuk makin peduli pada layanan public di negeri ini. Dengan memberikan tekanan kepada rezim medis agar khususnya juga pihak rumah sakit Omni International agar tidak bersikap arogan dan kembali menonjolkan sisi kemanusiaannya. Karena rezim medis ini adalah bentuk lembaga layanan kemanusiaan. Maaf, inilah salah satu dampak system ekonomi neo liberalisme, lembaga kemanusiaampum dibisnis oriented-kan pula. Apa askeskin dapat juga dilayani di Omni ini ya…..?

Kembali ke masalah Ibu Prita, saya mengajak kepada segenap warga Negara Indonesia maupun warga Negara asing yang tinggal di Indonesia dan masih memiliki hati nurani, ayo kita sadarkan pihak rezim medis ini dengan cara melakukan BOIKOT. Yakni melakukan tindakan untuk tidak berobat ke Rumah Sakit omni international dalam waktu sama sebagaimana Ibu Prita menerima hukuman penjara. Kalau perlu selama enam tahun sebagaimana tuntutan yang diterima ibu Prita.

INI BARU ADIL. Keadilan versi masyarakat. Jangan sampai terjadi kesewenang-wenangan lagi dari pihak yang merasa lebih kuat/powerful kepada yang lemah, tidak hanya lemah secara financial aja lho menilainya.
Rezim medis menurut saya masih memiliki power cukup kuat untuk melindungi kepentingan, dan keuntungan profesinya dari tindak keteledorannya dalam menjalankan profesinya. Dan hal ini pun mereka mampu mempengaruhi undang-undang medis yang di buat DPR, bahwa sangsi hukumnya pun masih sangat lemah, lain kali kita akan mendiskusikannya.

Pada saat ini kita hendaknya secara bersama-sama untuk peduli dan tidak melakukan hubungan dengan pihak rumah sakit, Satu kata BOIKOT rumah sakit omni. Dan perhatikan apa yang terjadi.

ANTOK AFIANTO , pasuruan jawa timur.


Sumber: wiryanto.wordpress.com

0 komentar: